Oleh: Martin Manurung - Berbagai masalah intoleransi tak kunjung sirna mendera bangsa ini. Tumbuhnya kelompok-kelompok sektarian seakan-akan tak mampu diatasi dan dibendung oleh Negara yang katanya berazaskan Pancasila. Pembakaran gereja di Riau dan aksi kekerasan yang terus terjadi di Papua, misalnya, hanyalah dua dari banyak kasus di negeri ini dimana Negara secara telanjang dipermalukan, seakan lumpuh, tak mampu memberikan arti kehadirannya. Akademisi memberikan definisi Negara gagal sebagai berikut: “A state perceived as having failed at some of the basic conditions and responsibilities of a sovereign government” (Negara dianggap gagal pada beberapa kondisi dasar dan tanggung jawab pemerintahan yang berdaulat). Definisi tersebut ditunjukkan dengan kriteria-kriteria antara lain:
- loss of control of its territory, or of the monopoly on the legitimate use of physical force therein (hilangnya kendali atas wilayahnya, atau atas monopoli legitimasi penggunaan kekuatan fisiknya),
- erosion of legitimate authority to make collective decisions (erosi atas otoritas sah untuk membuat keputusan kolektif),
- an inability to provide public services, and (ketidakmampuan untuk menyediakan layanan-layanan publik, dan)
- an inability to interact with other states as a full member of the international community (ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan Negara-negara lain sebagai anggota penuh pada komunitas internasional).
Kita dengan cepat bisa menemukan contoh-contoh empiris dari kriteria Negara gagal tersebut. Lihatlah bagaimana wilayah kita hari demi hari semakin kehilangan fungsinya sebagai ruang publik, digerus oleh kepentingan orang per orang yang bermodal besar, bahkan juga kepentingan-kepentingan pemodal asing. Kepolisian pun sebagai alat fisik Negara semakin tak berkutik di depan penjahat-penjahat kelas kakap, koruptor besar, para mafia dari mafia pajak sampai dengan mafia Pemilu. Lihat juga bagaimana keputusan diambil tanpa ada implementasi. Bahkan Presiden sendiri pun, yang berdasarkan konstitusi adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, mencurahkan isi hati dan kesedihannya bahwa 50% dari instruksi presiden tidak dilaksanakan oleh Negara dan/atau pemerintah. Layanan publik adalah hal berikutnya yang tak kalah memprihatinkan. Birokrasi yang tak kunjung menjadi pelayan rakyat (public servants), dan bahkan kegagalan Negara untuk menyediakan jaminan sosial bagi warga negaranya. Baru kemarin kita saksikan, seorang ibu yang mencuri Sembako harus menjalani proses hukum dan mungkin akan berujung pada penjara sebagaimana dialami nenek Minah yang mendekam karena mencuri biji kakao dan ibu Prita yang masih harus menjalani proses pengadilan hanya karena mengeluhkan buruknya kualitas pelayanan kesehatan yang dialami oleh anak yang dicintainya. Seorang ibu harus menggendong mayat anaknya dari rumah sakit karena ia tak mampu membiayai pemakaman anaknya. Di tengah situasi yang mengenaskan hati itu, sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diundangkan sejak 2004, malah sampai sekarang tak kunjung dilaksanakan. Bagaimana dengan interaksi antarnegara dan hubungan internasional? Secara hukum memang kita masih menjadi Negara yang berdaulat, akan tetapi secara politik kita menyaksikan posisi Negara kita yang seakan hanya menjadi satelit bagi kepentingan Negara-negara besar.
Kita tak mampu berbicara dengan lantang dan dengan kepala yang tegap atas ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan juga sampai derajat tertentu di Libya. Mulut pemimpin Negara kita seakan terkunci rapat, ketika Negara-negara besar dengan semena-mena mencampuri urusan Negara lain dan bahkan melakukan serangan militer terhadap mereka. Karena itu, debat tentang apakah Negara kita telah gagal atau belum, jangan sekadar debat akademik. Kalaupun secara akademik belum bisa dikatakan “Negara gagal” (a failed state), akan tetapi kita menyaksikan hari demi hari, negara kita sedang menuju kegagalan (a failing state). Diperlukan kejujuran dan keterbukaan mata hati untuk melihat bahwa Negara kita telah mengalami kondisi disfungsi yang akut, dan ini harus segera dikoreksi, dihentikan. Itulah esensi dari diskusi yang kita selenggarakan sore menjelang malam hari ini. Garda Pemuda Nasdem merasakan keresahan, kesedihan dan kegelisahan atas kondisi disfungsi Negara saat ini.
Kami tidak ingin a failing state eventually becomes a failed state (Negara yang sedang menuju kegagalan akhirnya benar-benar menjadi Negara gagal). Pemuda harus bersuara dan kemudian harus bertindak. Itu adalah tanggung jawab sejarah kita. Akhirnya, saya mengucapkan terimakasih kepada para pembicara: bung Usman Hamid, bung Guntur Romli dan bung Saiful Haq. Juga kepada panitia kecil yang mempersiapkan diskusi ini: Obed Fritz, Hasrul Harahap dan Arie Puriawan. Tentunya juga terimakasih pada seluruh peserta dan hadirin yang berkenan memenuhi undangan kami untuk diskusi ini. Salam restorasi! Demi kehormatan, pengabdian dan tanah air! Martin Manurung Ketua Umum DPP Garda Pemuda Nasdem Disampaikan pada sambutan pembukaan Diskusi DPP Garda Pemuda Nasdem bertema, "Negara Gagal: Intoleransi dan Disintegrasi Bangsa" di Jakarta, 11 Agustus 2011.
Kita tak mampu berbicara dengan lantang dan dengan kepala yang tegap atas ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan juga sampai derajat tertentu di Libya. Mulut pemimpin Negara kita seakan terkunci rapat, ketika Negara-negara besar dengan semena-mena mencampuri urusan Negara lain dan bahkan melakukan serangan militer terhadap mereka. Karena itu, debat tentang apakah Negara kita telah gagal atau belum, jangan sekadar debat akademik. Kalaupun secara akademik belum bisa dikatakan “Negara gagal” (a failed state), akan tetapi kita menyaksikan hari demi hari, negara kita sedang menuju kegagalan (a failing state). Diperlukan kejujuran dan keterbukaan mata hati untuk melihat bahwa Negara kita telah mengalami kondisi disfungsi yang akut, dan ini harus segera dikoreksi, dihentikan. Itulah esensi dari diskusi yang kita selenggarakan sore menjelang malam hari ini. Garda Pemuda Nasdem merasakan keresahan, kesedihan dan kegelisahan atas kondisi disfungsi Negara saat ini.
Kami tidak ingin a failing state eventually becomes a failed state (Negara yang sedang menuju kegagalan akhirnya benar-benar menjadi Negara gagal). Pemuda harus bersuara dan kemudian harus bertindak. Itu adalah tanggung jawab sejarah kita. Akhirnya, saya mengucapkan terimakasih kepada para pembicara: bung Usman Hamid, bung Guntur Romli dan bung Saiful Haq. Juga kepada panitia kecil yang mempersiapkan diskusi ini: Obed Fritz, Hasrul Harahap dan Arie Puriawan. Tentunya juga terimakasih pada seluruh peserta dan hadirin yang berkenan memenuhi undangan kami untuk diskusi ini. Salam restorasi! Demi kehormatan, pengabdian dan tanah air! Martin Manurung Ketua Umum DPP Garda Pemuda Nasdem Disampaikan pada sambutan pembukaan Diskusi DPP Garda Pemuda Nasdem bertema, "Negara Gagal: Intoleransi dan Disintegrasi Bangsa" di Jakarta, 11 Agustus 2011.